Beberapa hari kemarin saya menemani si sulung bermain ditaman
didekat rumah, hitung-hitung rekreasi gratis . Untungya taman bermain disekitar
area rumah memang sudah banyak perubahan. Jadi selain bisa bermain sepeda di
lapangannya, anak-anak juga difasilitasi beberapa permainan sederhana
seperti jungkat-jungkit, ayunan,
perosotan dan beberapa permaian lainnya.
Si sulung sudah asyik dengan mainannya, sedangkan saya memilih duduk
dibawah pohon sambil memperhatikan. Tapi tiba-tiba saya mendengar hal yang saya
fikir kurang pantas. Entah niatnya mengejek atau bagaimana saya kurang begitu
faham. Tapi beberapa anak mulai menghasut dan mengatakan “ Jangan main sama dia”,
kemudian anak yang lain menyauti dengan berbagai tanggapan. Dan berbagai macam
kata-kata lainnya, yang cendrung merendahkan. Saya beringsut membalikkan posisi duduk dan mencari
tau apa yang sebenarnya terjadi. Seorang
anak dengan wajah murung berdiri disisi taman, setelah diejek dan dimusuhi
teman-temannya. Ketika saya hendak berdiri dan menegur, anak-anak ini sudah
berjalan menjauh meninggalkan temannya tadi.
Sedangkan anak malang yang dibully temannya itu berlari kearah
berlawanan membawa bola.
Beberapa hari kemudian saat saya mengantarkan si sulung
bermain lagi. Anak-anak yang tempo hari saya liat sedang bermain bola, termasuk
si anak malang yang dibully kemarin. Tidak ada bekas sakit hati, mereka tertawa
dan bermain bersama seolah tidak pernah ada kejadian apa-apa. Mereka yang bermain dalam satu tim asyik bermain
bola dan saling mengoper tanpa pernah memendam dendam. Entah karena lupa, atau
karena tidak perduli lagi soal kejadian kemarin.
![]() |
Dok. Pribadi |
Saat itu saya sadar bahwa hati anak-anak itu begitu tulus dan
ikhlas. Mereka mungkin mudah juga marah karena belum bisa mengontrol emosi tapi
disisi lain mereka juga mudah menerima
dan mudah memaafkan. Mungkin jika kita para orang dewasa diposisi yang sama,
jangankan untuk ngobrol bertemu saja rasanya malas.
Baca Juga : Bijak Berkata dan Berkomentar adalah kewajiban
Anak bertengkar itu bukan hal yang baru, wajar kalau mereka
berselisih pandang atau berebut mainan. Mereka sama-sama sedang dalam proses
pendewasaan dan tahapan pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang mungkin
tidak diajarkan disekolah. Maka sebagai orang tua, bimbinglah proses
pembelajaran ini dengan menanamkan pemahaman yang baik. Menasehati dan
memberikan masukan yang positif agar anak bisa tumbuh dengan pemikiran yang
baik dan positif.
Saat anak pulang karena menangis bertengkar dengan temannya,
tanyakan dulu apa penyebab dia menangis. Tanyakan masalahnya, dan
kronologisnya. Baru kemudian beri masukan positif sesuai dengan kondisi masalah
yang dialami. Sehingga anak mengerti sebab dan akibat dari apa yang terjadi. Jika orang lain yang salah, berikan pemahaman
tentang memaklumi dan memaafkan. Jika memang si anak yang salah, tanamkan sifat
pemberani untuk mengakui kesalahannya. Sehingga anak tidak serta merta
menyalahkan orang lain dalam setiap masalah yang timbul dalam hidupnya.
Banyak orang tua sekarang ini, malah menjadi racun bagi jiwa
si anak yang begitu bersih. Saat anak memiliki masalah dengan temannya, orang
tua malah maju dan menyelesaikan masalah si anak. Mengkambinghitamkan anak
orang lain dan membela anaknya mati-matian, padahal anaknya pun belum tentu
benar. Apalagi kalau si orang tua anak yang dimarahinya tidak terima, akhirnya
timbul masalah baru dari masalah antar anak menjadi masalah antar orang tua. Apa
gak repot ya ?.
Saya juga pernah mendengar beberapa orang tua kemudian
mendikte anaknya “ jangan main sama dia lagi, dia itu ....”. Dan secara tidak sadar orang tua sedang
menamkan kebencian kepada anaknya.
Baca Juga : Bijak Berkata dan Berkomentar adalah Kewajiban
Ada juga orang tua yang mungkin sedang kesal dengan orang
tua, saudara, suami, ipar atau orang lain kemudian menghasut anaknya dengan
cara menceritakan hal-hal negatif orang tersebut kepada anak dan memaksa anak untuk berpandangan sama. Padahal pengalaman
si anak dengan orang tersebut belum tentu sama dengan pengalaman orang tuanya. Hasilnya,
si anak benci tak beralasan.
Saya pernah mengalaminya dulu, hal yang membuat saya sampai
sekarang tidak suka terhadap seseorang hanya karena cerita dari orang tua saya
dulu. Saat dewasa baru kemudian saya berfikir, kenapa saya punya perasaan
seperti ini? Padahal saya tidak pernah memiliki kenangan buruk dengan orang
tersebut. Meskipun perlahan-lahan saya mengubah cara pandang saya terhadap
orang tersebut, tapi reaksi alam bawah sadar saya tetap merasa tidak nyaman saat
bertemu.
Sejak saat itu kemudian saya sadar bahwa rasa tidak suka atau
penolakan itu tidak hanya timbul dari pengalaman pahit, tapi juga bisa karena
doktrin orang lain yang begitu kuat sampai benar-benar diyakini bahwa itu
adalah kebenaran. Bagaimana bisa seorang anak menanggung rasa benci kepada
seseorang hanya karena orang tua atau orang-orang terdekatnya ?. Sedangkan
sifat alami mereka adalah memaafkan dan melupakan.
Oleh karena itu saya sendiri mulai berhati-hati memilah
cerita yang ingin disampaikan kepada anak. Bahkan tentang ayahnya sekalipun. Suami
istri memang ada kalanya ribut, tapi saya berusaha untuk tidak menceritakan hal
negatif tentang ayahnya meskipun saya ingin. Saat anak bertanya tentang ayahnya bisa saja
saya menjawab “ udah gak usah urusin ayah, dia sibuk sendiri. “ Mungkin
terdengar sepele, tapi ini bisa jadi doktrin bagi anak. Mereka akan berfikir
kalau ayahnya mungkin tidak perduli dan lain sebagainya. Emosi kita yang sesaat
bisa saja kemudian merubah pandangan hidupnya sampai tua nanti. Dan Beruntungnya pasangan saya pun melakukan
hal yang sama. Saat kami mungkin sedang tidak ingin pergi bersama, kami
memiliki alasan yang baik kenapa ayah atau bundanya tidak ikut. Agar anak
selalu memiliki pandangan yang positif pula nantinya kepada kami berdua.
Kita sebagai orang tua memang sudah punya banyak sekali pengalaman
hidup baik suka dan duka, tapi bukan berarti kita juga tidak bisa mengambil
pelajaran dari anak-anak yang usianya jauh dibawah kita. Kenyataannya dalam beberapa
hal, anak-anaklah yang lebih baik dan lebih santai menghadapi masalah.
Jangan segan belajar dari siapapun, termasuk anakmu.
6 Comments
kadang ortunya bertengkar dg ortu yg lain , eh anaknya sih sudah pada akur
ReplyDeleteahhahaha... iya betul mba.
Deletenah itulah kadang masalah anak bisa jadi masalah orang tua.
Setuju
ReplyDeletesiiippp
DeleteNah iya ya, Mbak. Kadang karena sepotong cerita kita jadi ikutan benci sama orang karena cerita dari orang tua. Ah, sebagai orang dewasa kita suka lupa ya bahwa anak-anak ini harusnya tak diajari membenci hanya karena kita membenci orang lain.
ReplyDeleteiya, itulah yang kadang luput dari kita sebagai orang dewasa.
Deletekadang kita fikir kita merasa benar karena sudah dewasa, tapi nyatanya terkadang anak kecil lah yang lebih bisa untuk tetap bersikap baik pada orang yang sudah menyakitinya atau mengecewakannya.
rasanya kita harus banyak belajar dari anak-anak...
hehe
Mari budayakan berkomentar dengan bijak ya cantik :)